}

Monday, June 6, 2011

Pak Toyo

            Siapa tak kenal indonesia, negara maritim yang besar dengan berjuta budaya didalamnya, siapa pula tak banggakan negeri ini, tentu aku pun besar hati dengan culture warisan leluhur yang menciptakan estetika dan kedamaian dalam berbangsa. Seiring perkembangan dunia berganti pula pola pikir manusia, tak terkecuali konskuensi dari melestarikan budaya menjadi janji kewajiban mereka yang mempercayainya, pembodohan atau tidak bergantung pada siapa yang menafsirkan.


            Bermula dari makan malam di warung mie rebus teoi jalan sisingamangaraja yogyakarta. Tampak disampingku lelaki tua yang sedang sibuk menghitung uang koin yang ia keluarkan dari tas cangklongnya guna membayar sepiring mi rebus dan segelas teh manis. Sembari makan aku-pun mulai menduga-duga siapa sebenarnya lelaki tua ini, apa profesi lelaki berkumis tebal ini, dari situ aku jadi teringat kata Jean Marais seorang pelukis yang berkata pada Minke yang diceritakan dalalm tetralogi Pramodya ananta tour,'' jika terpelajar itu harus adil sejak dalam pikiran, apa lagi perbuatan'', dari situ aku tak adil jika aku harus mengadili dia dengan ku itu.



           Berlahan aku santap makan malam ku coba untuk menayakan suatu hal tentang dia,dan rupanya dengan sekali bertanya cukup untuk menjawab semua pertanyaanku, karena ternyata lelaki tua itu tidak menutup diri dengan kecurigaan ku. ‘’daleme pundi pak ( rumahnya mana pak )’’pertanyaan ku terlontar untuk nya dan tanpa basa basi ia menjawab ‘’kidol imogiri mas (selatan imogiri )’’ tanpa ku harus meneruskan pertanyaan ku yang berikutnya dia meneruskan pembicaraan.



            Riwayat hidup menjadi awal perbincangan kami, dari tempat lahir sampai hakikat kehidupan manusia, ‘’ aku neng kene nggolek rejeki mas, yo kliling turut toko kalo jejalok, aku ki wes umur kurang luwih seket, anak-e loro, seng siji wes nyambut gawe seng cilik lagi wae mlebu SMA. Aku wes sepuluh tahunan aku nglelakoni iki, Sakjane anak ku yo wes ngrawehi nek aku mbendinane jejalok koyo ngene kuwi, haning wong nek ngendelke hasil tani yo ora cukup e mas, nek kanggo keluarga tak kiro cukup aku ora perlu koyo ngene, nanging seng dadi kebiasaane wong ndeso koyo genduren, sedekah,nyelameti deso kwi lak ora sithik duwet to mas ( disini mencari rizki, kelililing di toko ketoko untuk meminta-minta,kurang lebih aku sudah berumur limapuluhan, anak-ku dua yang besar sudah berkeluarga dan yang kecil baru mau masuk SMA, sudah sepuluh tahun aku seperti ini, sebenarnya anak saya juga pernah melarang untuk tidak melakukan hal ini, tapi kalau mengandalkan hasil tani pasti tidak cukup, kalau untuk menghidupi keluarga saya kira sudah mencukupi tanpa melakukan hal ini tapi,yang menjadi kebiasaan orang desa seperti sedekah, merti desa itu yang perlu tak sedikit uang )’’.



            Fakta yang tak terbantahkan lewat sejarah, suatu peradaban manusia yang dinamis, yang selalu berganti, entah berkembang atau mereduksi, tapi pada hakikatnya budaya yang ada di negara ini sungguh amatlah istimewa, jika diiringi dengan pengetahuan yang kita dapat dalam bangku pendidikan. Fase perkembangan berfikir manusia selalu berubah dari keyakinan manusia bahwa alam adalah sentral dari kehidupan, kemudian manusia mulai percaya dengan tuhan dan sekarang munculah menusia dan ephistimologi sebagai titik tolak dari munculnya sebuah pertanyaan dan fenomena.



           Ada zaman ada pula waktunya,mitos yang di agungkan namun tak paham akan esensi dari apa yang ia yakini, coba kita buka cara pandang kita bukankah dapat mematahkan teori jika sekarang bukanlah zaman jahiliah (lagi) seperti apa yang tersurat dalam sejarah dunia, Jika sudah seperti ini siapa yang salah, nenek moyang sebagai pewaris kebudayaan, pemimpin yang memaksa mempertahankan eksistensi zaman dan keyakinan-nya dengan dogma, ataukah manusia itusendiri yang memang bodoh, tapi yang wajib aku yakini manusia hidup di dunia tak lain hanya untuk saling membunuh seperti yang dikatakan Profesor Sahastrabudhhe dalam sambutan pertamanya pada mahasiswa baru dalam film 3 idiot, melainkan untuk mencari jawaban dari setiap pertanyaan untuk mencapai kedamaian. Coba kita mengingat dan berfikir apakah semua tindakan yang pernah kita lakukan diawali dengan berfikir dan tau akan esensi hal yang akan kita lakukan ?sungguh aku masih belajar.



           Tak lama kemuadian setelah aku selesai habiskan santapan malam ku hisap sebatang rokok, sebelum bergegas pulang aku tak lupa menanyakan nama nya, lelaki tua itu bernama Toyo.Pak Toyo yang rela berprofesi sebagai pengemis demi mengejar prestis dan mitos yang diciptakan oleh budaya.

Sunday, June 5, 2011

Begadang untuk Indonesia

-->
“Pendidikan in-formal itu adalah pendidikan yang diberikan bukan lewat forum formal, tapi pembelajaran dengan sistem itu bisa dilakukan dimana aja, seperti yang lagi kita lakuin sekarang ini .  Paham !“ Pimpinan bidang pengkaderanku dengan suaranya yang lantang  mencoba mengulang kalimat yang sebenarnya nggak cuma sekali ini aku dengar. dari situ aku akan buka cerita ini. Dari onani pikiran sampai begadang sampai pagi aku lakoni hingga aku bisa memulai cerita ini, dan memang inilah sebagian dari cerita tentan perjalanan hidupku. Tapi tak apa lah yang penting aku bisa cerita dan kalian sebagai pembaca  paham akan apa yang aku sampaikan, jika memang  acakadut itu urusan belakang.
                Selasa malam kira-kira jam sebelas bersama temanku Sakti namanya dialah yang paling keple diantara kami tiba di rumah Bang Juri dan lansung menuju halaman belakang , disitu berdiri sebuah joglo atau rumah adat jawa tengah, yang beralih fungsi menjadi tempat nongkrong . Ya, kedatangan kami seakan menghentikan asyiknya perbincangan mereka. nggak tau juga sih mereka lagi ngomongin apa, karena aku juga baru sampai.
                Obrolan kami dimulai dengansaling ledek, dan membahas hal-hal yang kurang penting, suatu hal yang wajar dalam komunitas terjadi saling ejek satu sama lain. Dengan ditemani beberapa babang rokok perbincangan terus berlanjut, terus ngobrol dengan tema yang nggak jelas, karena pada awalnya tujuan kita ketempat tersebut hanya untuk sharing semata. Dari cerita tentang evaluasi acara Keadilan Fair, membahas personal anggota lembaga, sampai pada keredaksian. Aku dan kedua temanku  Sakti  dan Ferry  bisa dibilang pengurus Keadilan yang baru dilantik kemarin sore alias baru, kami bak seorang nelayan yang butuh pertolongan karena kapal yang kami tumpangi karam tertelan ombak di tengah lautan, dan itulah sebabnya kami bertiga harus selalu menggali ilmu dari pengurus yang lebih senior dari kami.
Yogie Joel dalam struktus terpampang jelas sebagai REDPEL dikeadilan, sewajarnya jika dia lebih paham dengan hal-hal yang berhubungan dengan keredaksian, dan tak heran pula jika kami berlima akan lebih tertunduk untuk menyimak setiap apa yang ia paparkan. Berbeda dengan Bang Juri, yang  lebih paham dengan sistem dan teori kaderisasi.
Singkat cerita, setelah kami terus berbincang dan ketawa-ketiwi  satu persatu dari kami pun terlihat tak tahan lagi menahan kantuk, karena tanpa terasa hari sudah pagi. Sebelum aku bersama  kolega beranjak dari kursi tua itu, kami mendapatkan ide untuk membuat grup menulis acakadut dengan nama KABITHA dengan maksud untuk melatih skill menulis dari kami semua. Hingga pagi itu kesepakatan menjadi penutup obrolan kami. Sebelum  keluar dari pintu gerbang tak lupa kami  sempatkan untuk minta pamit. Balek sek yo Jur..satu persatu dari kami ucapkan kalimat tersebut.