LANGIT gelap, tak satupun bintang yang dapat ku lihat. Matapun sayu, badan terlapis air karena gerahnya malam ini tak biasa. Aku termenung, barang tentu ingat apa yang lusa ia katakan. Jangan terlalu banyak tidur terlampau malam, sehat itu haruslah dijaga, setelah lulus nanti alangkah baikanya cepat pulang. Hari ini aku tak banyak melakukan kegiatan, Tiga kelas sudah cukup menguras pikiran, lebih-lebih, rapat dan diskusi sore tadi usai aku ikuti.
Tak banyak orang-orang seperti ku, terpelajar mungkin belum pantas aku sandang, namun ayah dan ibuku akan cukup girang bila anak ke dua yaang juga laki-laki ini kembali dengan gelar sarjana dan cukup asing dengan terpelajarnya.Nanti.
Mereka sangat penyayang, tak kenal henti ia mendidik dengan fikiran yang jajam juga kelembutan hati. Saban hari ia membangunkanku. Seragam sekolah juga bahan lap untuk badan ku setiap pagi tak pernah aku harus mencarinya sendiri. bekal sekolah ia siapkan dari sebelum pagi tak lupa ia hidangkan, sesekali ia siisihkan menir hasil buruh untuk ia belikanku susu.
Kadangkala ia jemput ke tempat ku belajar, itupun bila ia tak dapat lemburan. Tak jarang aku harus berjalan kaki dengan teman-teman dengan menenteng sepatu. Sepatu sering ditenteng selagi tidak di sekolah, biar awet, juga satu-satunya yang aku punya. Sesampai dirumah, tak jarang pula aku harus mengelus-elus hewan peliaraanku selagi menunggu ibu yang biasa sesaat kembali. Mencari akibat perut isi barang kali sebagai alasan-nya.
Sekarang bukan yang dulu, Cita-cita yang dulu pernah aku mau sewaktu masih di bangku pendidikan dasar tak berbenak lagi, padang rumput indah yang setiap kali aku dan mereka injak pun kemarin telah berubah wujud menjadi pertokoan. Inginku seperti air yang mengalir dari gunung, bebas untuk menentukan jalanya. Keruh bila kadangkeruh karena debu itu sudah biasa, dan mungkin kadangkala juga cukup jadi masalah, toh itu justru gambaran bila dunia memang tak tentu.
Lima puluh sembilan menit lalu masih hari rabu. Sekarang aku sedang tak indahkan pesan mereka. Kalau saja ia menelepon, barang mungkin aku gugup sekali,namun mereka takkan lakukan, ia begitu penyayang pada anak-anaknya, membangunkaku dipagi buta benar kurang bijak untuknya.
Bukan bermaksud lancang pad mereka. Aku sudah besar. Tak perlu lagi ia harus siapkan sarapan, lap badan seperti kala itu. Aku sudah berakal. Meski belum bisa untuk mencari makan sendiri namun, aku sudah tau beda mana baik atau buruk. harapku pada kalian ialah restu. Ya, restu kalian, hingga esok kalian tau anaknya kembali ke rumah sebagai seorang asing karena gelar terpelajarku.